Sabtu, 24 Juli 2010

Oom Genit

Oleh: Ika Maya Susanti

“Len, nanti pulang sekolah, temani aku ke mall, yuk! Mau cari kado buat adikku,” ajakku pada Leni, teman sebangku yang juga teman dekatku.

“Aduh, aku udah janji sama Mas Fandi. Sebetulnya nanti kami ke mall juga. Atau… bagaimana kalau bareng saja,” Leni justru ganti mengajakku.

Aku langsung menggeleng. “Ih, nggak enak banget kalau kayak begitu. Aku jadi obat nyamuknya dong!” seruku menolak.

“Ye… ya nggak lah. Yuk!”

Tapi sekali ini aku mengibaskan tangan tanda benar-benar tak ingin. “Nggak ah, nggak asik! Aku sendirian saja ntar,” aku lalu memilih pergi berlalu dari hadapan Leni.

Jujur, akhir-akhir ini aku memang sering kesal dengan Leni. Sejak ia dekat dengan Mas Fandy, yang ia akui jadi pacarnya sekarang, Leni jadi jarang punya waktu untuk bersama denganku. Memang, aku merasa kehilangan Leni sekarang ini! Bukannya tidak ada teman yang lain, sih. Namun, aku merasa sudah begitu klop saja dengan Leni.

Namun sebetulnya sejak awal, aku merasa agak janggal dengan hubungan Leni dan Mas Fandy. Umur Leni sekarang masih 14 tahun. Kami masih duduk di bangku SMP. Tapi Mas Fandy, menurutku ia adalah pria dewasa. Selain itu yang aku tahu, ia saja sudah bekerja di sebuah bank swasta. Bahkan yang pernah kudengar dari Leni, umur Mas Fandy itu saja sudah 25 tahun. Beda jauh banget kan?!

“Ya kan nggak salah Vik. Sosoknya dia itu dewasa! Jadinya aku ini merasa terlindungi,” Leni langsung selalu membela diri jika aku mengungkit-ungkit tentang Mas Fandy yang umurnya beda jauh dengan Leni.

Entahlah, aku memang heran sekali dengan Leni sahabatku itu. Apakah karena cinta buta, atau memang ia sudah tahu bagaimana caranya memilih pacar yang benar? Ah… Aku sungguh bingung!

Akhirnya sepulang sekolah, aku pergi ke mall tanpa teman. Namun, ah, mengapa sih dunia ini begitu kecil? Di mall tempat aku mencari kado untuk adikku, aku malah melihat Leni sedang bergelanyut manja dengan Mas Fandy. Namun, ouch, entah kenapa kok aku jadi merasa risih waktu melihat Leni kala itu!

Pakaian dan dandanan Leni terlihat begitu dewasa. Mungkin orang yang tidak mengenalnya akan menyangka Leni sudah berusia 20-an. Sudah begitu gaya pacarannya, astaga…!!! Kok bisa jadi seperti itu sih kamu, Len?

Aku langsung berpaling dan pergi menjauhi keberadaan Leni dan Mas Fandy. Aku tidak ingin mereka tahu kalau aku juga ada di sini. Selain itu, aku jadi kecewa dan sedih pada Leni waktu melihat ulahnya dengan Mas Fandy. Di tempat umum seperti ini, mengapa mereka bisa tidak risih untuk bercumbu seperti itu ya? Ah, mungkin besok aku harus mengingatkan Leni. Biar bagaimanapun, aku menyayangi Leni sebagai sahabat dekatku!

“Vika! Ternyata kamu ada di sini juga ya?” sapa Leni mengejutkanku dari belakang.

Dan saat aku berpaling, aduh… kenapa aku harus berpapasan dengan mereka juga sih?!

“Eh, hai Len. Hehe, nggak nyangka juga ya kalau kita jadi ketemu di sini,” ujarku kikuk.

“Iya nih! Eh iya, kamu belum pernah aku kenalkan langsung ke Mas Fandi kan? Mas, ini Vika. Itu lho, teman dekatku yang sering aku ceritakan itu,” Leni mencoba memerkenalkan aku.

“Hai Mas,” sapaku. “Aku sudah sering tahu Mas dari cerita Leni kok.”

“Oh ini yang namanya Vika,” Mas Fandy lalu mengulurkan tangan. Aneh, jabatan tangannya terasa janggal saat menyentuh tanganku. Belum lagi tatapan matanya yang justru membuatku jadi merasa risih sendiri. Seketika, aku langsung berusaha menarik tanganku dengan kuat dari jabatan tangan Mas Fandy.

“Gimana, sudah ketemu barang yang kamu cari, Vik?” Leni bertanya.

“Belum Len. Mungkin besok saja aku cari lagi di tempat lain. Di sini nggak ada yang cocok sepertinya,” elakku. Huh, kalau nggak gara-gara aku melihat ulah kalian di mall yang menurutku tidak mengenakkan untuk dilihat itu, mungkin aku tidak akan seperti orang linglung sekarang ini!

“Atau, bagaimana kalau kita cari di mall lain saja?” tawar Mas Fandy.

“Ah nggak deh, terimakasih. Besok saya cari lagi saja sendiri,” jawabku namun dengan nada yang agak tidak enak untuk didengar. Entah kenapa perasaanku jadi tidak nyaman dengan sosok Mas Fandy.

“Ya sudah, kita ke kafe dulu saja yuk! Kelihatannya kamu capek. Saya lihat wajahmu kok pucat begitu. Yuk!” Mas Fandy kini ganti mengajakku dan Leni untuk ke kafe.

“Kita dari tadi kan belum istirahat ya, sayang. Kita ke kafe dulu saja. Setuju kan?” tawar Mas Fandy kepada Leni.

Dalam hati aku menggerutu. Huh, wajahku pucat ini gara-gara pusing melihat ulah kalian! Namun, aku sudah kehilangan akal untuk mengelak dari ajakan Mas Fandy. Karena Leni setuju, mau tak mau akhirnya aku pun menuruti ajakan tersebut.

Sepanjang jalan menuju kafe, benar-benar aku berjalan sebagai obat nyamuk di tengah mereka. Atau becak barangkali ya? Habisnya, mereka berdua asik dan cuek dengan mesranya berjalan sambil berpelukan di depanku. Sedangkan aku, berjalan sendiri di belakang mereka.

Saat di kafe, Leni langsung pamit ingin ke toilet. Sialan, kenapa aku ditinggal dengan Mas Fandy?! Aku tak henti merutuk dalam hati dan jadi merasa tidak nyaman.

“Kalian ini katanya teman dekat, ya?” Mas Fandy mulai bertanya-tanya ramah.

Aku mengangguk seadanya.

Saat aku melirik ke arah Mas Fandy, aku baru sadar kalau ia sedang asik memerhatikanku.

“Wah wah wah, cewek SMP zaman sekarang cantik-cantik yah! Nggak seperti zaman saya dulu. Culun-culun!” komentarnya yang membuatku kebingungan. Maksud orang ini apa sih?

“Eh Vika, boleh minta nomor Hp kamu nggak? Siapa tahu ada temanku yang ingin kenalan juga,” kata Mas Fandy yang membuat aku langsung melotot.

“Ha?! Oh, maaf yah, saya nggak minat sama om-om!” jawabku sinis yang membuat wajah Mas Fandy langsung memerah.

“Halah, sok jual mahal kamu! Kata Leni, kamu belum punya pacar kan? Ck ck… kasihan! Heh, jadi jomblo itu nggak usah sok deh!” seru Mas Fandy mengejek.

Aku lalu membuang muka. Rasanya jadi jijik aku berhadapan dengan orang ini. Uh, Leni mana sih? Aku lalu melihat ke arah toilet mencari-cari sosok Leni.

“Vik,” panggil Mas Fandy sambil memegang tanganku yang membuatku langsung terkejut.

“Eh ini orang! Kurang ajar banget sih!” ujarku dengan nada tinggi.

Mas Fandy langsung melotot. “Kamu itu ya, jadi cewek, masih kecil, jangan belagu! Bisa-bisa nanti kamu jadi perawan tua, tahu!” ancam Mas Fandy yang membuat aku langsung berdiri.

“Dasar om-om genit!” makiku. Karena sudah tidak tahan, aku memilih untuk pergi. Biar saja, urusan Leni, aku nanti akan sms ke dia.

Sampai di rumah, aku memilih langsung membaringkan tubuhku dan tidur. Kepalaku terasa pening. Terlintas dalam benakku kelebatan tubuh Leni dan Mas Fandy, maki-makian Mas Fandy dan rayuannya. Perutku langsung mual!

Tak terasa, tidurku ternyata cukup lama. Aku baru terbangun ketika mendengar suara Hp milikku yang berbunyi kencang.

“Hah, sudah pukul 9 malam? Lama betul ternyata tidurku!” gumamku saat melihat ke arah jam.

Saat ku cek layar Hpku, ternyata ada beberapa sms dan miscall di sana. Aku langsung membuka sms-sms dari Leni.

“Hi Vik, td kmna aj?kok kmu prgi gt aj?!kta M Fandy kmu skit y?makany td prgi.sori,aku skit prut jd lma d toilet,” sms dari Leni.

Aku langsung membalas sms tersebut. “Iy Len,kplaku skit.mknya aq pulng dluan.sori td g pmit,” jawabku.

Lalu aku mengecek Hp kembali dan ternyata ada satu sms dengan nomor yang tidak aku kenal.

“Alo cwek judes tp mnis.Kok telp dr aq g diangkt2?Ni M Fandy.Sory y kl td aq dah ngmong g enak k kmu,” aku langsung melotot. Hah, untuk apa orang ini telepon aku berkali-kali?! Belum sempat aku mengecek berapa kali Mas Fandy mencoba meneleponku, Hp yang ada di tanganku itu tiba-tiba berbunyi.

“Mas Fandy? Untuk apa orang ini malam-malam telepon aku?” aku terkejut.

“Halo,” ujarku setelah menekan tanda terima telepon.

“Hai Vika. Kok lama banget teleponku baru diangkat. Kamu sedang apa? Ini Mas Fandy. Aku benar-benar minta maaf lho atas kejadian tadi sore,” cerocos Mas Fandy.

“Ada apa, Mas?” tanyaku dengan nada ketus.

“Ya nggak ada apa-apa. Eh, kamu jangan mulai lagi ketus seperti itu dong. Aku kan cuma mau kenal kamu saja.” Kali ini meski aku sudah ketus terhadapnya, ternyata ia agak lebih lunak dari sore tadi.

“Hem. Iya, terus sekarang ini telepon mau apa? Saya tadi sudah sms kok ke Leni. Terimakasih sudah beritahu ke Leni kalau saya sedang sakit,” ujarku dengan nada kaku.

“Nah, begitu dong. Ada ucapan terimakasih, ada imbalan terimakasih juga kan?” ujar Mas Fandy yang sungguh sulit kumengerti.

“Maksudnya apa?” ujarku kembali dengan nada ketus.

“Yah, kamu mau kan kalau besok aku ajak jalan?” jawab Mas Fandy di seberang sana yang membuat perutku tiba-tiba kembali terasa mual.

“Ini orang emang kurang ajar!” makiku sambil menutup pembicaraan dengan menekan tombol di Hp.

Aku langsung teringat Leni. Ah, sepertinya harus secepatnya aku bicara dengan Leni. Cowok yang dianggapnya sebagai pacar ini ternyata memang bukan cowok baik-baik!

Hp di tanganku bergetar. Aku lihat ternyata ada sms yang masuk di sana. Saat ku buka, aduh, oh Tuhan… kenapa lagi sih dengan orang ini!

“Kl kmu tolak ajakan q,kmu akan lhat hal mmalukan trjdi pd tmnmu itu!aq pnya fto2 Leni yg aduhai,lho!” ternyata Mas Fandy malah mengancamku.

Aku langsung menonaktifkan Hp. Sungguh, aku jadi khawatir dengan diriku sendiri. Aku juga jadi ingat Leni. Ah, apa yang sudah engkau lakukan Len dengan Mas Fandy? Namun di tengah kekhawatiranku, aku mencoba berpikir waras. Ini tidak bisa dibiarkan begitu saja. Sebelum hal buruk terjadi lebih parah pada Leni, aku, atau gadis yang lain, aku harus menghentikannya.

Kupandangi Hpku yang kini sudah dalam keadaan mati. “Ah, untung semua sms dari Mas Fandy tadi masih ada di Hpku. Aku harus melaporkan Mas Fandy ke polisi!” tekadku. Besok, semuanya ini harus berakhir!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar