Sabtu, 24 Juli 2010

Permusuhan Ninuk dengan Nyamuk

Oleh: Ika Maya Susanti

“Sejak gigitan pertama yang meninggalkan rasa sakit, gatal berkepanjangan, dan bekas yang terpaksa menjadi tato sementara pada kulitku, aku, Ninuk Kusuma Wardhani atau yang biasa dipanggil Ninuk, berikrar untuk tidak akan pernah mengenal kata damai pada KAU, NYAMUK!!!” Mata Ninuk melotot geram sambil mengedarkan pandangan ke segala penjuru ruangan berukuran tiga kali empat meter.

Usai berikrar, Ninuk kemudian mengikatkan kepalanya dengan seutas kain panjang yang membuat poni yang biasa digunakan untuk menutup jidat yang menurutnya seperti lapangan sepak bola itu tersingkap untuk sementara waktu. Aku lantas melihatnya mengambil sebuah raket listrik yang kemudian ia pegang erat-erat di tangan kanannya.

“Maafkan aku laptop dan segenap tugas kuliahku. Kalian harus kutinggalkan untuk sementara waktu demi aksi pengenyahan para GPK, Gerakan Pengacau Kekhusyukan ini! Karena jika tidak, hidupku tidak akan tenteram, damai, sejahtera, dan sentosa malam ini!”

Berjurus kilat petir menebas pohon kelapa, Ninuk pun lantas mengibaskan raketnya ke segala penjuru ruangan kamar kami berdua. Matanya nyalang bagai radar yang mampu mengetahui di mana saja arah nyamuk yang sedang terbang dengan gaya melambai santai hingga yang terbang bergaya meroket bak siluman nyamuk.

Herannya, mata Ninuk seakan selalu tahu di mana saja nyamuk yang sedang berterbangan hilir mudik. Sesekali, suara “Krip krip!” terdengar dari raket yang digenggam Ninuk berikut percikan kecil sebagai tanda adanya nyamuk yang berhasil tersetrum karena kurang gesit terbang menghindar.

Namun lebih naasnya lagi adalah jika terdengar bunyi letusan yang lebih mirip suara petasan kecil namun lumayan mengejutkan. “Tarrr!!!” demikian bunyinya dengan percikan kilatan yang menyerupai bunga api orang yang sedang mengelas besi. Kalau ada yang seperti itu, berarti tandanya Ninuk berhasil mendapatkan nyamuk besar dan gendut yang sarat akan cairan merah kehitam-hitaman. Cairan apalagi kalau bukan setetes kecil darah yang berhasil dicuri si nyamuk dari tubuh manusia.

Jika suara “Krip-krip!” yang terdengar, senyuman Ninuk akan menyudut kecil, berbeda lagi jika yang berbunyi adalah “Tarrr!” Tak hanya senyum kemenangan, bahkan tawa lebar berikut umpatan kebun binatang sampai gaya preman di jalanan bisa keluar dari bibir Ninuk yang terkenal berwatak halus budi pekertinya itu. Ya, Ninuk yang lemah lembut dan seakan tidak pernah mampu membunuh semut itu akan berubah menjadi pemburu berdarah dingin jika melihat sesosok nyamuk saja yang terbang melintasinya atau tertangkap radar telinganya.

“Sudah dapat berapa Nuk?” aku melirik ke arah Ninuk yang asyik dengan sebatang lidi melepaskan mayat-mayat nyamuk yang bersalah karena menggoda Ninuk hingga terpanggang dalam setruman raket listrik.

“Lumayan, 12 ekor! Tapi sepertinya ini masih ada yang ngiung-ngiung nih suaranya! Ngeganggu banget di kuping!” sesekali mata Ninuk beredar ke penjuru kamar mencari nyamuk yang sedang berseriosa di kupingnya.

“Terus Nuk, kamu kapan mau belajar kalau kayak begini terus? Besok kan kita sama-sama punya tugas statistik yang harus dikumpulkan. Belum lagi tugas Pengantas Ilmu Ekonomi,” aku menyela di tengah kekhusyukan Ninuk yang belum ingin menghentikan aksi gencatan raketnya dengan para nyamuk di kamar kami.

“Nggak bisa Tan! Ini adalah tugas wajib yang justru harus dikerjakan lebih dulu malam ini!” Ninuk mengabaikan peringatanku dan kembali mengibaskan raketnya ke sana ke mari.

Yah, itulah sekilas gambaranku saat ini dengan apa yang sedang terjadi di alam realitaku sekarang. Sejak sekamar kos dengan Ninuk yang paling alergi dengan nyamuk, hidupku kini jadi penuh warna warni dinamika hubungan perseteruan antara manusia dengan nyamuk. Fatalnya, kami tinggal di Surabaya yang sejak kejadian lumpur Lapindo, terasa makin panas dan nyamuk yang ada pun serasa makin urakan dan ganas.

Memang, Ninuk sahabatku itu sangat berbeda sekali dengan aku, atau mungkin kebanyakan manusia. Aku bisa bilang kebanyakan manusia karena pada umumnya manusia memang wajar menerima keberadaan nyamuk meski mereka tidak bersahabat. Sudah mengambil setetes darah, nyamuk juga hobi meninggalkan rasa gatal bercampur sakit pada kulit manusia.

Namun jika umumnya manusia hanya sekejap saja merasakan gatal dan sakit akibat gigitan nyamuk, berbeda dengan apa yang dialami oleh Ninuk atau mungkin sedikit orang yang ada di muka bumi ini. Rasa gatal dan perih bisa Ninuk rasakan berhari-hari. Belum lagi bekas gigitannya yang mulai dari berwujud bentolan merah besar jika nyamuk habis menggigit kulitnya hingga berangsur menjadi bintik merah. Konon kata Ninuk, gatalnya terasa minta ampun menggoda jarinya hingga ia harus giat menggaruk bekas gigitan itu. Bintik merah yang awalnya hampir tidak kelihatan itupun kemudian akan berubah menjadi luka akibat garukan kuku-kuku Ninuk. Dan jika sudah seperti itu, bekas hitam pun akan menyisa di kulit Ninuk. Berakhir tragis memang! Ninuk yang seharusnya bangga memiliki kulit halus mulus seperti kebanyakan cewek seusianya, harus memiliki kulit yang justru berbelang-belang hitam.

Pernah suatu ketika Ninuk berkonsultasi ke dokter spesialis kulit dan pulang dengan kekecewaan putus asa berkepanjangan. Setelah berkonsultasi dengan dokter tersebut, Ninuk justru disarankan untuk membeli sebuah lotion yang harganya lumayan wah. Meskipun konon katanya, lotion itu mampu menghilangkan bekas gigitan nyamuk yang berwarna bintik-bintik merah atau bekas garukan yang berwarna belang-belang hitam dalam hitungan hari. Tujuan Ninuk datang ke dokter spesialis kulit berharap bisa menjadi manusia normal yang tidak paranoid terhadap nyamuk untuk selamanya, harus kandas begitu saja!

Kebalikan dari Ninuk, aku justru memiliki kulit yang sangat kusyukuri kekebalannya terhadap nyamuk. Tidak bermasalah seperti kulit milik Ninuk. Bisa dibilang kulit badaklah! Jika nyamuk menggigit kulitku, aku cuma sedikit merasakan gatal dan selesailah sudah. Tidak ada rasa gatal campur pedih berkepanjangan atau bekas yang tertinggal lama di kulitku. Bahkan jika nyamuk menggigit kulitku, aku sering tidak merasakannya.

Aneh memang jika aku sedang bersama Ninuk atau jika kami sedang bersama beberapa orang lainnya. Ninuk justru kerap menjadi target idola utama gigitan nyamuk sedangkan tidak bagi aku dan mungkin orang lain yang sedang berada di sekitar kami. Jika sedang menyaksikan tivi misalnya di ruang tengah kos-an kami, Ninuk sering mendahului acara garuk menggaruk akibat digigit nyamuk. Sering pula aku ataupun yang lainnya jadi keheranan karena sementara tidak ada satupun nyamuk yang menggigit kami, Ninuk justru sudah sibuk sendirian mengusir nyamuk hingga acara heboh menggaruk-garuk karena merasa kegatalan akibat digigit nyamuk.

Nah, jika para cewek selalu dekat dengan yang namanya krim tabir surya, Ninuk justru tidak bisa lepas dengan yang namanya lotion anti nyamuk. Ke manapun dan di manapun, parfum yang tercium dari tubuh Ninuk cuma satu, parfum khas lotion anti nyamuk.

Naasnya, Ninuk sekamar dengan aku yang alergi dengan segala bau-bauan yang keluar dari obat anti nyamuk. Mulai dari semprotan spray, obat nyamuk bakar, obat nyamuk elektrik, sampai terkadang lotion anti nyamuk. Entah kenapa, sejak kecil, aku begitu anti dengan bau-bauan itu. Meskipun versinya obat anti nyamuk itu makin hari makin harum bak bau bunga aslinya, tetap saja, aku tidak tahan dan bahkan bisa muntah jika menciumnya. Beruntung aku tidak mengalami alergi dengan nyamuk seperti Ninuk sehingga tidak harus bersentuhan dengan barang-barang anti nyamuk seperti itu.

Sebagai wujud solidaritasnya, Ninuk akhirnya cuma memiliki sebuah modal untuk mengusir nyamuk jika kami berdua sedang berada di kamar. Apalagi kalau bukan raket elektrik andalannya yang sekali tebas, bisa mengenai nyamuk yang hobi terbang melayang-layang mencari mangsa. Raket ini memang cukup aman menurut kami berdua. Paling-paling, kami terkadang hanya sedikit terkejut jika nyamuk besar yang sempat kena, mengeluarkan bunyi letusan kecil dan bau gosong yang menguar akibat adanya nyamuk yang tersangkut raket dan terbakar gara-gara terkena sengatan listrik.

“Heah… heah… heah… Hei, heah… heah… ngapain sih dari tadi senyam senyum melulu sambil ngelihatin aku? Heah… heah… Bahagia ya melihat aku harus berjibaku membunuh nyamuk ke sana ke mari?” sembur Ninuk sambil sesekali ngos-ngosan karena kelelahan mengejar nyamuk ke segala penjuru sudut kamar. Rupanya ia merasa jika aku yang dari tadi asyik dengan laptopku sendiri, kurang memiliki rasa solidaritas terhadapnya.

“Ya habis mau bagaimana lagi? Raket listrik cuma satu. Aku nggak bisa bantu kami berburu nyamuk dong! Akhirnya ya… aku bantu doa saja dari dalam hatiku ini sambil duduk manis di sini ngeblog,” jawanku enteng.

Ninuk lalu menjatuhkan tubuhnya di sampingku. Nafasnya masih memburu, dan keringat pun bercucuran dari tubuhnya. “Aduh… sudah habis belum ya tu nyamuk?” gerutu Ninuk.

Baru sebentar saja suara keluhan Ninuk keluar, seekor nyamuk lewat di dekat kami dengan suara ejekan khasnya. Ninuk pun langsung bangkit dan memburu nyamuk yang mungkin berkata, “Hei hei… aku masih ada di sini lho! Ayo, tangkaplah aku, kau kugoda…”

Sesaat aku menghentikan aktivitas ngeblogku, sekilas mengamati keberadaan Ninuk, dan kembali meneruskan mengetik. Yah, sampai tulisan ini diketikkan, ternyata masih belum ada tanda-tanda kapan pertikaian antara Ninuk dengan para nyamuk akan berakhir!

“Oh nyamuk… kasihanilah Ninuk malam ini dan hari-hari berikutnya… Biarkanlah ia bisa merasakan hidup tenang seperti laiknya manusia pada umumnya…” doaku tulus terucap di bibir dari relung hati paling dalam sebagai sahabat Ninuk yang paling mengerti penderitaannya.

“Nuk,” panggilku dan Ninuk pun kemudian menoleh ke arahku, tampak tersenyum penuh rasa haru. “Lanjutkan perjuanganmu!” pesanku sambil mengepalkan tangan kanan memberi semangat kepada Ninuk dan kembali menekuni laptopku. Suara Ninuk lantas kudengar menjerit keki!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar